BANGUN MALAM
Apa
kabar Saudaraku?”
Sapaan lembut. Basa-basi atau lahir- batin tak ada yang tahu. Sebab sudah jamak
ketika perjumpaan atau dua orang saling bertemu, hal kedua setelah salam tentu
menanyakan kabar. Tapi dengan pertanyaan berikut ini, saya jadi tertegun.
Antara malu dan menipu.
“Bagaimana keadaan
sholat malammu?”
Kata – kata teduh dari pribadi yang sepuh. Jarang mendapatkan pertanyaan
seperti ini ketika perjumpaan. Paling banyak setelah kabar, biasanya menanyakan
pekerjaan, kemudian keluarga, lalu anak, terus istri dan kadang masalah tempat
tinggal. Begitu perhatiannya sesepuh ini sehingga menanyakan kabar sholat
malam. Tak aneh, seolah-olah mimpi. Menjawabnya pun susah. Mau terus – terang
tersipu. Mau berbasa – basi (baca bohong) gak terus-terang berani. Salting
(salah tingkah) jadinya. Dan bahasa tubuh itu tertangkap basah dengan kearifan
sesepuh ini, hingga ia tak perlu menunggu lama untuk terus melanjutkan wicara mencairkan
suasana. Tak baik membuat susah tamu.
“Terus apa yang
diandalkan dalam hidup ini?”
Semakin tersudut. Semakin terpojok dalam himpitan kesungguhan. Semua keakuan
luruh. Menepi menuju jurang jatuh jati diri masing – masing. Sunyi yang
menemani, menambah nuansa kekalahan hari ini. Tak ada rasa yang tersisa.
Apalagi kebanggaan. Dan apa yang telah dilakukan selama ini bukanlah sesuatu
yang bisa diandalkan. Serasa sia – sia semua. Aku terpaku.
“Tak usah segan. Saya
perlu bicara ini kepada siapa saja. Mungkin karena kegalauan yang menghinggapi,
melihat situasi yang ada. Perlu rasanya menghidupkan lagi lakon yang sudah mati
ini sebagai kunci. Bukan menyerang. Bukan menghina. Pun bukan mengiba.
Sebenarnya memberi motivasi. Memberi terapi. Kejutan, agar sunnah ini bisa
hidup dan hidup lagi. ”
Aku semakin tidak mengerti. Di depannya serasa mati berdiri. Cahaya wajahnya
meneduhkan. Sorot matanya penuh keagungan. Tutur katanya menyejukkan. Penuh
berisi. Mencuci hati – hati kotor dengan rangkaian kalimat hikmah dari dua
bibir lembutnya. Omong sak omong bergandeng dengan kesungguhan dan kebenaran.
Sejatinya, sudah berulang kali saya mendengar dalil – dalil serupa. Namun di
tangan sesepuh ini semua terasa berbeda. Begitu beryoni dan berisi. Ini
salah satunya;
‘Ketika Jibril datang pada Rosululloh SAW ia berkata, “Hai Muhammad, kemuliaan orang beriman adalah sholat
malamnya. Dan kegagahan orang beriman adalah sikap mandiri dari bantuan orang
lain.” (HR.
Al-Hakim, dihasankan oleh Al Albani, Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah no. 831)’
“Apa yang bisa saya
katakan sekarang, kalau ternyata banyak jumlah orang iman tetapi tidak banyak
yang mampu bangun malam. Sholat malam menjadi hal yang asing. Padahal
seharusnya bangun malam adalah gandengannya orang iman. Orang yang mulia.”
Klakep. Ada dorongan luar biasa dalam diri ini. Tekad yang kuat untuk bisa
bangun dan sholat malam. Rawe – rawe rantas, malang – malang putung. Apapun
kondisinya. Ada pencerahan luar biasa dalam hati saya. Semangat untuk bisa
bangun dan munajad di sepertiga malam tanpa jeda. Sebagai tanda kesyukuran.
Sebagai tanda kesungguhan. Sebagai pencarian kemuliaan bagi pakaian keimanan.
Kalau masih mengaku iman sebagai berjati diri.
“Wahai manusia
siarkanlah salam dan berikanlah makanan dan sambunglah famili dan sholatlah di waktu malam ketika
manusia yang lain tertidur, kalian akan masuk ke surga dengan selamat.” (Rowahu Ibnu Majah J-2)
Dan satu lagi pesan dari perjumpaan itu. Potret kekinian yang terus merebak.
Dengan santunnya pinisepuh ini berkomentar,“Dulu
setiap kali ngaji serasa melakukan outbond. Sekarang, banyak yang baru bisa
merasakan “pengajian” setelah mengadakan acara outbond.” Kok bisa ya? Entah darimana kesimpulan
ini datang. Yang pasti saya manggut – manggut mengiyakan. Wallahul
musta’an, wa alaikal balagh, walaa haula walaa quwwata illaa billaah.
(pf)
Oleh : Faizunal
Abdillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar